
Riauterkini-PEKANBARU- Aliansi Honorer Non-Database Provinsi Riau menegaskan bahwa sekitar 5.000 tenaga honorer non-database di Provinsi Riau masih belum mendapatkan kepastian status kepegawaian. Mereka terdiri dari tenaga honorer yang gagal seleksi CPNS, tidak memenuhi syarat JPNS atau B3K, hingga yang tidak mengikuti seleksi CASN 2024, namun telah bekerja selama 2 hingga 18 tahun di berbagai organisasi perangkat daerah.
Hal itu diungkapkan Razali, Koordinator Aliansi Honorer Non Databaes Provinsi Riau kepada riauterkini, Senin (24/11/2025).
Menurutnya, ribuan honorer tersebut telah lama memberikan pelayanan publik dan menggantungkan sumber penghidupan pada gaji bulanan, namun belum pernah mendapatkan kesempatan pengangkatan. Sementara itu, sepanjang 2025 beberapa OPD disebut sudah melakukan pemutusan hubungan kerja, meski Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan larangan merumahkan tenaga honorer.
Empat Tuntutan Nasional Hasil Aksi di Jakarta
Pada 17–18 November lalu, aliansi dari seluruh Indonesia -termasuk dari Riau- menggelar aksi besar di Jakarta dan melakukan audiensi dengan Kantor Staf Presiden, Sekretariat Kabinet, Kementerian PAN-RB, dan Komisi II DPR RI. Empat tuntutan disampaikan, yaitu,
1. Presiden menerbitkan surat edaran atau keputusan percepatan pengangkatan honorer non-database menjadi P3K Paruh Waktu.
2. Daerah dengan kemampuan fiskal diberikan payung hukum untuk mengusulkan pengangkatan honorer non-database.
3. Pemerintah pusat dan daerah diminta memastikan tidak ada honorer yang dirumahkan, sejalan dengan Inpres 1/2025.
4. Pemerintah diminta mengambil keputusan nasional yang tegas dan terukur terkait penyelesaian status honorer non-database.
Menurut aliansi, pejabat pusat telah menyatakan bahwa daerah diperbolehkan mengusulkan tenaga honorer non-database ke KemenPAN-RB, sepanjang pemerintah daerah memiliki kemampuan fiskal dan komitmen.
“Dengan sinyal positif dari pemerintah pusat, kami menilai keputusan kini sepenuhnya berada di tangan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Kepala daerah dinilai memiliki kewenangan mengusulkan 5.000 honorer non-database ke Kementerian PAN-RB melalui skema P3K Paruh Waktu,” katanya.
Aliansi berharap pemerintah daerah dapat mengambil langkah cepat dan berani sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian tenaga honorer yang selama ini menjadi ujung tombak pelayanan publik.
Optimis Meski Daerah Menghadapi Tekanan Fiskal
Ketika ditanyai mengenai kondisi keuangan daerah yang tengah menghadapi tunda bayar dan tekanan pendapatan, aliansi menyatakan tetap optimis. Mereka menilai bahwa kondisi fiskal tidak boleh dijadikan alasan untuk menghilangkan hak honorer atas kepastian status.
“Bagaimanapun keadaan keuangan daerah, kami juga punya hak untuk mendapatkan kepastian status kepegawaian. Apa pun situasinya, pemerintah daerah mesti bertanggung jawab,” tegasnya.
Optimisme tersebut bukan sekadar harapan, tetapi merujuk pada keberhasilan 20 daerah di Indonesia — termasuk Provinsi Jambi — yang telah mengusulkan honorer non-database ke skema P3K Paruh Waktu meskipun berada dalam situasi fiskal sulit.
Untuk menindaklanjuti hasil lobi nasional di Jakarta, aliansi dan Pemerintah Provinsi Riau telah menyepakati pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 1 Desember 2025 di Komisi I DPRD Riau. Forum tersebut akan dihadiri oleh perwakilan Aliansi Honorer Non-Database, DPRD Komisi I, Asisten III, BKD, dan BPKAD.
Aliansi menyebut RDP ini sebagai titik krusial untuk memastikan komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah. Mereka berharap momentum tersebut berujung pada kesediaan pemerintah Provinsi Riau mengusulkan 5.000 honorer non-database menjadi P3K Paruh Waktu sesuai rekomendasi kementerian.
“Kami yakin pemerintah sanggup dan mau memperjuangkan kami. Sekarang tinggal kemauan politik pemerintah daerah,” ujar Razali.***(yan)