
Riauterkini-PEKANBARU-Kasus meninggalnya anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Alm. Prada Josua Lumban Tobing, yang ditemukan pada Minggu, 30 Juni 2024, pukul 23.30 WIB dalam keadaan tergantung di Gudang-1 Logistik Yonif 132/BS, Batalyon Infanteri 132 Salo – Bangkinang, mengalami perkembangan signifikan dalam pencarian keadilan bagi keluarga almarhum.
Pada hari ini, Rabu (8/8/20240), tim kuasa hukum keluarga Alm. Prada Josua Lumban Tobing yang terdiri dari advokat dari Kantor Hukum Dr. Freddy Simanjuntak, S.H., M.H. & Rekan—termasuk Dr. Freddy Simanjuntak, S.H., M.H., Triandi Bimankalid, S.H., M.H., Dian Wahyuni, S.KM., S.H., M.M., M.H.Kes., CTL, Agus Sahat Sitompul, S.KM., S.H., M.H., Syafruddin Simbolon, S.H., M.H., William Alfred Halomoan, S.H., M.H., Suci Rahma Dani, S.H., dan M. Ardiansyach, S.H.—mengunjungi Rumah Sakit Tentara Kota Pekanbaru.
Kedatangan tim kuasa hukum diterima oleh dr. Finot, Sp.pA, Kepala Rumah Sakit, beserta jajarannya. Tim kuasa hukum meminta salinan Surat Kematian dan Rekam Medis yang hingga saat ini belum diterima oleh keluarga korban. Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan rumah sakit, dinyatakan bahwa korban tiba dalam keadaan sudah meninggal dunia dan penyebab kematian dinyatakan sebagai "Kematian Tidak Wajar" dengan klasifikasi penyebab kematian yang tidak diketahui.
Dr. Freddy Simanjuntak, S.H., M.H. menjelaskan kepada pers bahwa surat kematian dan rekam medis dari Rumah Sakit Tentara menunjukkan bahwa dugaan bahwa almarhum bunuh diri karena putus cinta telah terbantahkan. Surat kematian menunjukkan bahwa kematian almarhum adalah tidak wajar dan penyebabnya tidak diketahui, bukan bunuh diri. Padahal pilihan untuk "bunuh diri" ada pada kolom surat kematian tersebut, namun pihak rumah sakit tidak memilihnya.
"Hal ini semakin menguatkan keyakinan kami bahwa almarhum tidak meninggal karena bunuh diri, berdasarkan data dan keterangan dari saksi yang kami kumpulkan," katanya.

Pihaknya juga menyoroti surat pernyataan yang ditandatangani oleh ayah korban, Wilson Lumban Tobing, pada 1 Juli 2024, di Rumah Sakit Tentara Pekanbaru. Surat tersebut, yang tidak bertanggal, tampaknya dipaksakan dan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa almarhum meninggal akibat bunuh diri. Surat tersebut berisi tiga poin: (1) Tidak akan melakukan otopsi; (2) Tidak akan menuntut secara hukum; dan (3) Akan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Pernyataan ini disodorkan saat ayah korban sedang berduka dan menyaksikan jenazah anaknya, sementara surat keterangan kematian dari rumah sakit menyebutkan kematian yang tidak wajar, bukan bunuh diri.
"Kami juga menduga adanya rekaman video berdurasi 36 detik yang menunjukkan suara pintu terbuka dan tertutup pada detik ke-28, mengindikasikan adanya kemungkinan orang lain di tempat kejadian. Keberadaan CCTV di lokasi juga dipertanyakan, karena rekaman CCTV yang seharusnya ada hingga kini belum ditunjukkan kepada keluarga korban," terusnya.
Selain itu, jenazah almarhum saat tiba di rumah sakit masih mengenakan seragam TNI milik seseorang dengan inisial “RS,” dan ditemukan adanya darah di mulut dan hidung serta luka lebam di tubuh. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa almarhum mungkin telah disiksa sebelum digantung.
"Kami juga menemukan bahwa kondisi Gudang-1 Logistik tempat ditemukan almarhum telah diubah, menyulitkan rekonstruksi ulang. Perubahan ini mengarah pada upaya penghilangan barang bukti dan mempersulit penyelidikan," katanya.
Tim kuasa hukum akan mengupayakan otopsi jenazah dan mendorong pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) independen untuk mengungkap kejadian sebenarnya. Pihaknya berkomitmen untuk terus berjuang agar kasus ini terpecahkan dan keluarga almarhum mendapatkan keadilan.
Dian Wahyuni, S.KM., S.H., M.M., M.H.Kes., CTL, yang juga merupakan bagian dari tim kuasa hukum, menambahkan bahwa berdasarkan kajian hukum kesehatan, ada dugaan kuat bahwa kematian almarhum bukan akibat bunuh diri. "Kami akan terus berjuang untuk mengungkap fakta sebenarnya," tutupnya.***(rls)