Riauterkini, PELALAWAN -Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) meminta pemerintah memberikan perhatian serius terhadap nasib mereka. Jonson, salah satu perwakilan warga, menegaskan bahwa proses penataan batas kawasan hutan seharusnya dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Proses rinci penataan batas kawasan hutan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan," jelas Jonson.
Ia merujuk pada Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 20 ayat (4) huruf b dalam PP tersebut. Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c disebutkan bahwa tahap pelaksanaan penataan batas mencakup kegiatan inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan.
Sementara itu, Pasal 20 ayat (4) huruf b menyebutkan bahwa Panitia Tata Batas Kawasan Hutan bertugas untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait hak atas lahan atau tanah, baik yang berada di sepanjang trayek batas maupun di dalam kawasan hutan.
Lebih jauh, Pasal 22 ayat (2) PP tersebut secara eksplisit melindungi hak-hak masyarakat. Isinya menyebutkan bahwa apabila dalam proses penataan batas kawasan hutan terjadi temu gelang namun masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan tersebut tetap dapat ditetapkan oleh Menteri dengan mencantumkan penjelasan mengenai hak-hak tersebut untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas.
"Sayangnya, aturan-aturan ini tidak dijalankan," ujar Jonson. Ia menyayangkan tidak adanya larangan tegas kepada masyarakat agar tidak memasuki kawasan tersebut sejak awal.
"Kami justru dibiarkan masuk dan akhirnya terjebak di dalam kawasan TNTN. Yang menyakitkan, kami sekarang justru dituduh sebagai perambah, bahkan dianggap sebagai perusak habitat flora dan fauna. Padahal, kalau dari dulu ada larangan tegas, kami tidak akan datang ke sini," ungkapnya pilu.
Saat ini, menurut Jonson, ribuan warga sudah menetap di kawasan tersebut. Ia menilai bahwa dibandingkan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk membangun perkampungan baru melalui program transmigrasi, warga justru telah membangun kehidupan mereka sendiri dengan kerja keras, keringat, dan air mata.
"Kami memohon perlindungan kepada Bapak Menteri Pertahanan. Mohon dikaji ulang dan ditinjau kembali status kawasan hutan dan TNTN ini. Kami ini rakyat biasa, warga negara Indonesia yang hanya ingin hidup mandiri," katanya.
Ia menambahkan bahwa kehidupan yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun kini terancam penggusuran. "Kami tidak tahu harus ke mana jika digusur. Masa depan anak-anak kami menjadi tak menentu. Sebab, satu-satunya kampung yang kami miliki hanyalah Toro Jaya," tutupnya.*** ( Cho)