Riauterkini - PEKANBARU - Di tengah arus pendidikan modern yang sering terjebak dalam rutinitas hafalan dan pembelajaran instan, buku Filsafat Pendidikan Biologi karya L. N. Firdaus hadir sebagai angin segar.
Diterbitkan oleh Deepublish pada tahun 2025, buku setebal 96 halaman ini (ISBN 978-634-01-1199-6) mencoba mengembalikan hakikat pendidikan biologi sebagai sarana membangun kesadaran ekologis dan nalar kritis peserta didik.
Buku ditulis oleh L.N Firdaus - ini lahir dari kegelisahan terhadap praktik pembelajaran biologi yang seringkali hanya berfokus pada hafalan istilah latin dan eksperimen sederhana tanpa makna mendalam. Penulis mengungkap ironi di ruang kelasv—di mana siswa mempelajari jenis-jenis ekosistem di buku, namun tidak mengenal ekosistem di sekitar tempat tinggalnya sendiri.
Firdaus menyoroti dua persoalan utama pendidikan saat ini: menurunnya kepekaan siswa terhadap lingkungan dan ketergantungan pada teknologi. Siswa masa kini, tulisnya, cenderung “tidak mau repot”—segala jawaban dicari lewat internet, dan tugas sering kali hanya hasil salinan. Akibatnya, kesadaran terhadap krisis ekologi nyata di sekitar mereka pun semakin pudar.
Dalam buku ini, Firdaus menarik benang merah antara ilmu pendidikan dan ilmu biologi dari sudut pandang filsafat. Ia menegaskan bahwa ilmu bukanlah entitas netral, melainkan akumulasi fakta yang dibentuk oleh paradigma berpikir. Karena itu, mendidik bukan sekadar mengajarkan fakta, tetapi melatih kemampuan berpikir dan memahami makna di balik pengetahuan.
Setiap bab disusun secara sistematis, mengajak pembaca untuk merefleksikan ulang persoalan pendidikan biologi di Indonesia, tanggung jawab moral setelah mempelajarinya, serta penerapan nilai-nilai filsafat dalam dunia pendidikan. Tujuan utamanya: menumbuhkan kesadaran lingkungan dan membentuk generasi yang berpikir kritis serta peka terhadap tantangan zaman.
Filsafat Pendidikan Biologi sangat direkomendasikan bagi pendidik yang ingin keluar dari pola pembelajaran kaku menuju pendidikan yang lebih bermakna. Namun, buku ini bukan panduan praktis bagi mereka yang mencari solusi instan untuk mengatasi siswa yang malas belajar. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk merenung, berpikir, dan bertransformasi.
Meski hanya setebal kurang dari 100 halaman, dampak pemikirannya terasa mendalam. Setiap gagasan yang tertulis di dalamnya, seperti yang digambarkan penulis, “bagaikan enzim yang terus mengkatalis pemahaman baru tanpa per gynah kehabisan substrat.”
Bagi siapa pun yang percaya bahwa pendidikan seharusnya membentuk kesadaran, bukan sekadar mencetak nilai, buku ini layak dibaca dan direnungkan.
Demikian penulis resensi : Ashifa Putri Zirly - Mahasiswi Pascasarjana FKIP Biologi Universitas Riau 2025. ***(rls)