Riauterkini - PEKANBARU - PT Sarana Pembangunan Provinsi Riau (SPR) Trada menggugat sejumlah pihak ke Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Ada tiga orang yang digugat dalam perkara wanprestasi tersebut yakni Katua Koperasi Pancuran Gading Jonni Fiter Suplus, Ketua LPHD Rantau Kasih Adi Syahputra dan Ira Asiska.
Dalam gugatan yang dipampang pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Pekanbaru dan berhasil dilihat wartawan, PT SPR Trada meminta para tergugat menyatakan adanya Akta Perjanjian Pemberian Fee Tegakan Kayu Akasia No. 29 tanggal 27 Mei 2024 yang dibuat dihadapan para tergugat III melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf c, dan Pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
SPR juga meminta Akta Perjanjian Pemberian Fee Tegakan Kayu Akasia No. 29 tanggal 27 Mei 2024 yang dibuat dihadapan salah satu tergugat dengan segala akibat yang timbulkan olehnya, batal demi hukum.
Kepada PN Pekanbaru, pihak PT SPR meminta menjatuhkan hukuman kepada tergugat. Kemudian meminta tergugat untuk mencoret Akta Perjanjian Pemberian Fee Tegakan Kayu Akasia No. 29 tanggal 27 Mei 2024 dari buku register akta yang disediakan untuk itu dan melaporkannya ke Kantor Wilayah Hukum Riau karena batal demi hukum
Bukan hanya itu, SPR meminta tergugat untuk memusnahkan minuta Akta Perjanjian Pemberian Fee Tegakan Kayu Akasia No. 29 tanggal 27 Mei 2024 yang ada padanya dan membuat berita acara pemusnahan tersebut. SPR juga meminta ON Pekanbaru menjatuhkan hukuman kepada ketiga tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng.
Gugatan tersebut dibenarkan oleh Desk Corsec PT SPR Trada, Hari Jummaulana, S.I.Kom, M.I.Kom. Ia menjelaskan berdasarkan Akta Perjanjian Fee Tegakan Kayu Akasia Nomor 29 tanggal 27 Mei 2024, diketahui bahwa Jonni Fiter Suplus secara sepihak mengubah status dirinya dari Ketua Koperasi Pancuran Gading menjadi perwakilan masyarakat adat tanpa dokumen pendukung resmi seperti surat mandat masyarakat adat atau keputusan kelembagaan yang sah.
Lanjutnya, perubahan tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pihak lain yang ikut menandatangani akta. Hingga saat ini, Jonni Fiter Suplus belum dapat menunjukkan bukti sah atas klaimnya tersebut. Selain itu, saat penyusunan akta, sempat mengusulkan agar skema pembagian hasil kemitraan dicantumkan, namun usulan ini ditolak oleh Jonni Fiter Suplus sendiri dengan alasan itu urusan pribadi.
"Atas dasar temuan ini, tim hukum PT SPR menilai akta dimaksud berindikasi cacat hukum, sehingga layak diajukan gugatan pembatalan," terangnya.
Sejatinya sempat ada forum mediasi yang diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau pada 28 Maret 2024, ini turut dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dr. Afni, M.Si yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Kementerian LHK, M. Job Kurniawan Kepala DLHK, Salfian Daliandi Direktur SPR Trada, Amry S Kepala KPH Sorek, Adi Saputra Ketua LPHD Rantau Kasih, Jonni Fiter Suplus Ketua KUD Pancuran Gading, dan Ajisman Kepala Desa Rantau Kasih. Forum ini menyepakati kerja sama antara tiga pihak yakni SPR Trada, LPHD Rantau Kasih, dan Koperasi Pancuran Gading.
Namun lanjutnya lagi, setelah pertemuan tersebut, Jonni Fiter Suplus kembali melakukan perubahan status secara sepihak tanpa persetujuan atau paraf pihak lainnya. Padahal, koperasi merupakan entitas berbadan hukum, sehingga setiap perubahan representasi harus didasarkan pada keputusan resmi seperti Rapat Anggota Tahunan (RAT). Sedangkan jika bertindak atas nama masyarakat adat, harus memiliki mandat tertulis yang sah.
"Gugatan ini kami ajukan semata-mata untuk mendapatkan kepastian hukum dan kejelasan status pihak-pihak yang berhak. Kami ingin memastikan bahwa klaim yang diajukan memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting agar tidak terjadi misrepresentasi yang merugikan masyarakat luas maupun perusahaan," jelasnya.
Pihaknya berharap jika terbukti masyarakat adat memang memiliki hak, maka PT SPR berkomitmen penuh untuk menyerahkan hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan amanah yang telah dititipkan melalui LPHD.
"Kami berharap proses ini memberikan kepastian, menyelesaikan sengketa secara adil dan mengakhiri polemik sehingga perusahaan dapat fokus pada operasional dan kontribusi nyata bagi daerah," tutupnya.***(Arl)