RIAU memiliki identitas yang sangat kuat sebagai pusat tamadun Melayu serumpun. Nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan marwah Melayu menekankan harmoni manusia dengan alam: hutan, tanah, dan laut bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dijaga untuk generasi sekarang dan mendatang.
Saat ini, Kabupaten Bengkalis salah satu wilayah strategis Riau menghadapi tantangan ekologis serius. Abrasi di pesisir Selat Malaka kian parah, menghilangkan pemukiman, merusak kebun masyarakat, serta menghancurkan infrastruktur pesisir. Rehabilitasi mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami tertunda karena masalah hukum yang membelit program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penanaman mangrove 2021.
Program PEN 2021, dengan alokasi dana sekitar Rp462,2 miliar, kini masih dalam tahap penyidikan oleh Kejaksaan Negeri Bengkalis atas dugaan korupsi. Hingga saat ini, belum ada tersangka yang ditetapkan, dan sejumlah desa penerima manfaat tidak bisa dilakukan penanaman ulang menggunakan APBN. Akibatnya, penanganan abrasi menjadi lambat sementara masyarakat terus kehilangan lahan produktif.
Abrasi di Selat Bengkalis tidak bisa menunggu proses hukum yang panjang. Sementara pengusutan berjalan, masyarakat dan pemerintah daerah kehilangan waktu berharga untuk menyelamatkan wilayah pesisir. Kita berhadapan rehabilitasi ini bisa dilaksanakan sembari penegakan hukum berjalan karena bencana ekologis juga harus segera diatasi.
Lambatnya penanganan kasus ini disebabkan oleh sejumlah faktor struktural: penyidikan yang rumit melibatkan banyak kelompok masyarakat penerima, besarnya anggaran, keterbatasan kapasitas aparat penegak hukum di daerah, serta kompleksitas distribusi dana di lapangan. Kasus lingkungan juga sering bersinggungan dengan kepentingan politik dan ekonomi, sehingga setiap langkah hukum harus sangat berhati-hati.
Melalui konsep Bengkalis Lestari yang didorong Forum Sinergi Bengkalis Lestari, sinergi antara ekologi, ekonomi, dan budaya diharapkan menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan.
Rehabilitasi mangrove juga seharusnya menjadi contoh nyata, bukan proyek simbolik. Namun ketika program PEN 2021 tersandung hukum maka prinsip pembangunan keberlanjutan berpotensi terhambat.
Konsep Riau Istimewa menuntut pengelolaan ekologis yang selaras dengan adat dan marwah Melayu. Mangrove bukan sekadar pohon pelindung pantai, tetapi simbol tata kelola ruang hidup yang adil dan lestari. Kabupaten Bengkalis sebagai kawasan strategis maritim memiliki potensi besar : Perairan kaya sumber daya, jalur perdagangan internasional di Selat Malaka serta warisan budaya Melayu yang kuat.
Masyarakat Melayu diajarkan menjaga hutan, tanah, dan laut sebagai warisan generasi. Jika kita abai hari ini, kita mewariskan bencana ekologis bagi anak cucu.
Situasi ini menuntut langkah cepat dari berbagai pihak. Pemerintah daerah perlu menyiapkan jalur alternatif, seperti penggunaan anggaran APBD, program kolaboratif multipihak, atau dukungan donor, agar rehabilitasi mangrove tetap bisa berjalan sementara proses hukum berlangsung. Selain itu, transparansi dan partisipasi masyarakat harus menjadi prinsip utama agar program besar seperti PEN benar-benar memberi manfaat nyata.
Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum atau administratif. Ini adalah ujian bagi Riau Istimewa apakah keistimewaan wilayah ini diukur dari sejarah dan simbol, atau dari kemampuannya menjaga marwah Melayu, ekosistem pesisir, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan menyeimbangkan aspek hukum, ekologi, dan sosial, Riau bisa menjadi contoh bagi kawasan lain sebagai tamadun Melayu yang hidup, lestari, dan relevan dengan tantangan modern.
Kesimpulan :
Abrasi di Selat Bengkalis mengancam kehidupan masyarakat dan infrastruktur pesisir.
Program PEN 2021 terhambat proses hukum, sehingga rehabilitasi mangrove tertunda.
Lambatnya proses disebabkan kompleksitas penyidikan, besarnya anggaran, dan sensitivitas politik-ekonomi.
Solusi darurat perlu dipersiapkan agar rehabilitasi tetap berjalan.
Pelestarian mangrove dan tata kelola ruang pesisir harus selaras dengan kearifan lokal dan marwah Melayu.
Jika Riau ingin benar-benar menjadi Riau Istimewa, prinsip keberlanjutan ekologis, sosial, dan budaya harus ditegakkan, bahkan ketika menghadapi kasus hukum. Hanya dengan demikian, generasi sekarang dan mendatang dapat menikmati warisan lingkungan dan budaya yang utuh.***
Penulis :
Muhammad Iskandar,
Ketua KESLIMASY (Kelompok Studi Lingkungan dan Masyarakat) Bengkalis
Email : muhammadiskandar751@gmail.com
Telepon : 0812 6642 0935