Riauterkini – PEKANBARU – Gubernur Riau Abdul Wahid menyoroti kontribusi sektor minyak dan gas bumi (migas) yang dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Ia menyebut adanya tata kelola yang salah dalam pengelolaan sektor strategis tersebut.
Hal itu disampaikan Gubernur Wahid saat menghadiri pertemuan bersama jajaran Direksi Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan SKK Migas Sumbagut di Gedung RDTX Place, kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (17/10/25).
Menurut Wahid, pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan II tahun 2025 mencapai 4,59 persen. Namun, jika tanpa sektor migas, pertumbuhan ekonomi Riau seharusnya bisa mencapai 5,6 persen.
"Artinya ada tata kelola yang salah. Sektor migas justru menyumbang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” tegas Wahid.
Ia menjelaskan, beberapa sektor utama yang selama ini menopang ekonomi Riau antara lain perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), serta jasa dan perdagangan. Namun, kontribusi migas yang justru menekan pertumbuhan menjadi perhatian serius pemerintah provinsi.
Wahid menduga, investasi besar yang dilakukan oleh PHR selama ini belum banyak melibatkan perusahaan-perusahaan lokal.
“Saya menduga investasi besar PHR tidak memberikan porsi yang cukup bagi local content. Padahal hal itu sangat berdampak terhadap ekonomi daerah,” ujar Gubernur Riau itu.
Ia juga meminta agar PHR lebih transparan terhadap realisasi investasi dan hasil yang diperoleh.
"Kami memahami ada target lifting nasional yang harus dicapai, tapi kami juga ingin tahu nilai investasinya dan hasilnya. PI 10 persen saja, sejak Januari lalu kami hanya menerima 1 dolar. Kami ingin dilibatkan untuk melihat pergerakan progresnya,” kata Wahid tegas.
Gubernur muda itu juga menekankan agar PHR turut berkontribusi nyata terhadap perekonomian daerah di tengah kondisi fiskal Riau yang cukup berat.
"Sektor migas adalah kekayaan dari bumi Riau. Kami berharap bisa benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Utama PHR Ruby Mulyawan menjelaskan bahwa kondisi negatif sektor migas disebabkan oleh tingginya biaya insentif progressive split dan meningkatnya investasi untuk mempertahankan produksi minyak (lifting).
"Biaya kami meningkat karena proyek CEOR untuk menjaga lifting tetap stabil. Ditambah lagi harga minyak dunia terus menurun,” jelas Ruby.
Meski demikian, Ruby menegaskan PHR telah melibatkan banyak pihak lokal dalam proyeknya.
"Ada lebih dari 200 kontrak yang melibatkan local content. Saya rasa sudah cukup signifikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur SKK Migas Sumbagut C.W. Wicaksono berharap pertemuan tersebut menjadi momentum memperkuat kolaborasi antara pemerintah daerah, SKK Migas, dan PHR.
“Kami harap ini menjadi ajang memperkuat sinergi dan koordinasi agar proses eksplorasi migas ke depan bisa lebih cepat. Data progres juga akan kami buka pada pertemuan mendatang,” ujar Wicaksono.
Hadir pula Sekda Riau, Asisten II Setdaprov, serta perwakilan BUMD Riau. Dalam forum itu, Sekda Riau menyampaikan keinginan agar dilakukan adendum terhadap akta peralihan antara BUMD penerima PI dan PHR.
“Ada klausul yang sangat memberatkan daerah. Jika PHR mengajukan amandemen share KBH, kami juga ingin ada adendum terhadap akta peralihan tersebut,” ungkapnya.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan kesepakatan untuk melaksanakan pertemuan lanjutan, serta bersama-sama mendorong perubahan kontrak dari skema gross split menjadi cost recovery. Usulan ini akan diajukan ke pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM. ***(mok)